Rabu, 23 Maret 2011

Cara Aman Menjaga Martabat

Perlindungan terhadap berbagai Hak atas Kekayaan Intelektual (HaKI) bangsa Indonesia sangat diperlukan agar tak satupun dicaplok oleh negara lain. HaKI itu adalah cermin jati diri dan budaya bangsa.

Kalau dilihat secara historis, undang-undang mengenai HaKI pertama kali ada di Venice, Italia yang menyangkut masalah paten pada tahun 1470. Caxton, Galileo dan Guttenberg tercatat sebagai penemu-penemu yang muncul dalam kurun waktu tersebut dan mempunyai hak monopoli atas penemuan mereka. Hukum-hukum tentang paten tersebut kemudian diadopsi oleh kerajaan Inggris di jaman TUDOR tahun 1500-an dan kemudian lahir hukum mengenai paten pertama di Inggris yaitu Statute of Monopolies (1623). Amerika Serikat baru mempunyai undang-undang paten tahun 1791.Upaya harmonisasi dalam bidang HaKI pertama kali terjadi tahun 1883 dengan lahirnya Paris Convention untuk masalah paten, merek dagang dan desain. Kemudian Berne Convention 1886 untuk masalah copyright atau hak cipta. Tujuan dari konvensi-konvensi tersebut antara lain standarisasi, pembahasan masalah baru, tukar menukar informasi, perlindungan minimum dan prosedur mendapatkan hak. Kedua konvensi itu kemudian membentuk biro administratif bernama the United International Bureau for the Protection of Intellectual Property yang kemudian dikenal dengan nama World Intellectual Property Organisation (WIPO). WIPO kemudian menjadi badan administratif khusus di bawah PBB yang menangani masalah HaKI anggota PBB.
Pada kesempatan yang berlainan diselenggarakan perundingan di Uruguay (Uruguay Round) disponsori oleh Amerika yang membahas tarif dan perdagangan dunia yang kemudian melahirkan kesepakatan mengenai tarif dan perdagangan GATT (1994) dan kemudian melahirkan World Trade Organisation (WTO).
Kemudian terjadi kesepakatan antara WIPO dan WTO dimana WTO mengadopsi peraturan mengenai HaKI dari WIPO yang kemudian dikaitkan dengan masalah perdagangan dan tarif dalam perjanjian Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs) untuk diterapkan pada anggotanya. Indonesia sebagai anggota WTO telah meratifikasi perjanjian tersebut tahun 1995.
Jika dilihat dari latar belakang historis mengenai HaKI terlihat bahwa di negara Barat (maju), penghargaan atas kekayaan intelektual atau apapun hasil olah pikir individu sudah sangat lama diterapkan dalam budaya mereka yang kemudian diterjemahkan dalam perundang-undangan. Sedangkan di Indonesia, masalah HaKI masih menimbulkan polemik yang berkepanjangan.
Banyak warisan luhur kebudayaan nenek moyang, yang sejatinya juga merupakan kekayaan intelektual anak kaum negeri ini, demikian pula dengan kekayaan keanekaragaman hayati alamnya, sudah terlebih dahulu “dibajak” oleh negara-negara lain. Kedua jenis kekayaan bangsa tersebut sungguh tak ternilai harganya. Tetapi negara asing sebagai pembajak seolah-olah merasa tak bersalah dengan mengaku sebagai pemilik yang sah, sama persis sebagaimana ketika anak bangsa ini membajaki kekayaan intelektual hasil karya warga negara lain.
Sayangnya, dengan TRIP’S kekayaan intelektual yang sudah dianggap sebagai milik publik atau komunitas masyarakat, semacam lagu-lagu rakyat, rempah-rempah hasil kekayaan alam, angklung, seni budaya dan berbagai warisan leluhur Indonesia, menjadi tidak ada artinya sama sekali sebab dapat saja dengan mudah ‘direbut’ oleh perusahaan asing hanya karena telah berbeda dalam proses dan produknya.
Maka itu janganlah merasa heran apabila negara tetangga sekelas Malaysia bisa mengaku sebagai pemilik hak cipta Rasa Sayange. Padahal lagu yang selama ini selalu diembel-embeli status no name, sebab sudah tak diketahui siapa penciptanya, sudah puluhan tahun dikenal sebagai lagu rakyat asal pulau Maluku. Dari tanah Betawi lagu Si Jali-Jali disebut pula sebagai milik Langkawi, masih dari Malaysia. Alat musik angklung yang khas tanah Pasundan juga diklaim sebagai paten milik Malaysia. Atau tempe dipatenkan oleh Jepang dan AS, demikian pula dengan Batik oleh AS dan sebagainya. Hilang sudah kekayaan sekaligus cermin jati diri bangsa ini.

Soal tempe saja, misalnya. Makanan berbahan kacang kedelai ini sudah dianggap sebagai khas bangsa Indonesia sebab biasa tersaji di meja jamuan makan para raja-raja di kalangan istana, hingga sebagai lauk dalam nasi bungkus kaum marjinal. Tetapi nyatanya tempe sudah mencatatkan 19 paten, dimana 13 paten milik Amerika Serikat dan enam sisanya milik Jepang. Hak paten Amerika dimiliki oleh perusahaan Z-L Limited Partnership (delapan paten), Gyorgy mengantongi dua paten mengenai minyak tempe, Pfaff memiliki dua paten mengenai alat inkubator dan cara membuat bahan makan, serta Yueh dan kawan-kawan memiliki paten mengenai pembuatan makanan ringan dengan campuran tempe. Enam paten Jepang masing-masing empat paten pembuatan tempe, satu paten mengenai antioksidan, dan satu paten mengenai kosmetik menggunakan bahan tempe yang diisolasi.Kekayaan IntelektualPerlindungan terhadap HaKI di Indonesia diatur ke dalam dua bentuk, yaitu Hak Cipta dan dan Hak Kekayaan Industri. Hak Kekayaan Industri terdiri atas Paten, Merek, Desain Industri, Desain Tata Letak Sirkuit Terpadu, Rahasia Dagang, dan Varietas Tanaman.
Awalnya hukum yang mengatur kekayaan intelektual bersifat teritori. Artinya, pendaftaran ataupun penegakan hak kekayaan intelektual harus dilakukan secara terpisah di masing-masing yurisdiksi bersangkutan. Namun hukum yang berbeda-beda tersebut semakin diselaraskan dengan diberlakukannya perjanjian-perjanjian internasional, seperti Persetujuan tentang Aspek-Aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). Sementara perjanjian-perjanjian lain memungkinkan pendaftaran kekayaan intelektual pada lebih dari satu yurisdiksi sekaligus. Organisasi internasional yang mewadahi HKI adalah WIPO, atau World Intellectual Property Organization.
Tentang Hak Cipta, sesungguhnya ciptaan tidak wajib didaftarkan karena pendaftaran hanya alat bukti bila ada pihak lain ingin mengakui hasil ciptaannya di kemudian hari. Hak Cipta fokus kepada bidang pengetahuan dan seni dan masa berlakunya hak cipta ini sampai si pencipta meninggal dunia dan 50 tahun setelah pencipta meninggal dunia. Dasar hukum Hak Cipta adalah Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 Tentang Hak Cipta, disahkan oleh Presiden Megawati Soekarnoputri pada 29 Juli 2002 dan dinyatakan berlaku setahun kemudian.
Sementara Hak Kekayaan Industri, Hak Paten misalnya, merupakan hak eksklusif yang diberikan oleh negara kepada inventor atas hasil invensinya (temuannya) di bidang teknologi, yang untuk selama waktu tertentu melaksanakan sendiri invensinya tersebut, atau memberikan persetujuannya kepada pihak lain untuk melaksanakannya. Hak Paten mengandung kebaharuan dimana di seluruh dunia tidak ada yang sama dan berkaitan dengan industri atau komersial serta masa berlakunya Hak Paten ini akan dilindungi selama 10 tahun hingga 20 tahun. Dasar hukumnya adalah Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Paten, yang memberi jangka waktu paten selama 20 tahun, dan 10 tahun untuk paten sederhana.
Unsur lain Hak Kekayaan Industri adalah Trademark atau Hak Merek, contoh sebuah pulpen dengan tulisan misalnya Parker. Lalu Industrial Design atau Hak Produk Industri, misalnya pulpen dengan desain atau bentuk tertentu. Kemudian Represion of Unfair Competition Practices atau penanggulangan praktek persaingan curang.
Selain Indonesia yang pernah masuk dalam priority watch list, China sesungguhnya merupakan negara yang juga sangat terkenal akan pembajakannya. Harga barang-barang buatan China relatif murah karena negeri Panda ini tidak pernah membayar royalti. China tidak ikut konvensi internasional khusus soal HaKI, sebagaimana ketaatan Indonesia, karena itu negara-negara lain tidak bisa menuntut atau menjatuhkan hukuman kepada China.
Berbeda dengan Indonesia yang harus tunduk kepada semua konvensi internasional yang telah diratifikasi, kendati seringpula melanggar. Yaitu TRIPS yang sudah diratifikasi menjadi UU No. 7/1994; lalu Paris Convention for Protection on Industrial Property (Keppres No. 15/1997); Patent Cooperation Treaty (PCT) and Regulation Under the PCT (Keppres No. 16/1997); Trademark Law Treaty (Keppres No. 17/1997); Berne Convention for the Protection of Literary and Artistic Works (Keppres No. 18/1997); dan WIPO Copyrights Treaty (Keppres No. 19/1997).
Indonesia juga sudah memiliki berbagai piranti hukum untuk melindungi semua hak kekayaan intelektual, yaitu UU No. 29/2000 tentang Perlindungan Varietas Tanaman; UU No. 30/2000 tentang Rahasia Dagang; UU No. 31/2000 tentang Desain Industri; UU No. 32/2000 tentang Desain Tata Letak Sirkuti Terpadu; UU No. 14/2001 tentang Paten; UU No. 15/2001 tentang Merek; dan UU No. 19/2002 tentang Hak Cipta.
Tidak Semua Memandang Perlu Kebutuhan perlindungan HaKI nampaknya hanya diperlukan oleh perusahaan besar saja. Sebab mendaftarkan sekaligus mempertahankan paten membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Contohnya untuk membuat printer dibutuhkan paling tidak 1.000 paten, sehingga tak satu pun perusahaan Indonesia bisa berkompetisi di bisnis ini. Paten menjadi mengada-ada sebab menghambat inovasi. Paten membuat harga software mahal dan berakibat pembajakan marak.
Budi Rahardjo, Direktur Pusat Peneltian dan Pengembangan Industri dan Teknologi Informasi ITB Bandung, saat berbicara pada lokakarya terbatas tentang hak kekayaan intelektual di Pusat Pengkajian Hukum (PPH) dan Pusdiklat Mahkamah Agung memberikan contoh kasus di dunia farmasi, bagaimana paten membuat segalanya mahal. Di Afrika Selatan dan India di mana banyak warga yang terkena AIDS, perusahaan farmasi di sana yang memiliki HaKI dari obat AIDS tidak mau melisensinya dengan harga murah. Tetapi Pemerintah Afrika Selatan menerapkan compulsury licensing sehingga perusahaan lokal dapat membuat obat generik yang terjangkau harganya.
Mengenai masalah copyright software yang banyak dibajak, menurut Budi, karena software disimpan dalam format digital (urutan angka “0” dan “1”), maka dia dapat diduplikasi dengan mudah tanpa mengurangi kualitas asli maupun duplikatnya. Padahal dengan harga software asli yang relatif mahal untuk negara berkembang, apalagi untuk ukuran kantong mahasiswa, yakni sebesar 300 dollar AS per software, sementara harga CD kosong murah hanya Rp 1.500, kata Budi timbullah aneka copy-an software.
Di sisi lain, software yang tadinya tidak dijual terpisah dengan perangkat keras (bundled) terus saja dikembangkan oleh hobbyist dan peneliti. Mereka memunculkan berbagai model lisensi software seperti copyleft, freeware, GNU public license (GPL), open source, public domain, shareware, BSD dan berbagai skema lisensi lain. Para ilmuwan yang berdedikasi bersedia membuat karyanya menjadi milik publik walau awalnya mereka tidak suka sebab tidak ada insentif.
Budi mengatakan source code adalah inti dari software. Source code dipertahankan sebagai aset dari perusahaan dan orang tidak boleh melihat, sampai akhirnya muncullah open source di mana source code itu bisa dikutak-katik orang lain. Dengan open source orang lain bisa ikut mengembangkan software, memperbaiki, ikut belajar cara implementasi, hingga terbuka ide-ide baru, software baru, inovasi baru dan sebagainya.
Sistem operasi Linux menjadi contoh yang sangat fenomenal di dunia piranti open source. Sejak OS Linux diperkenalkan oleh Linus Trovald berbagai hacker dunia turut mengembangkan dan menyempurnakan kualitas Linux hingga lebih mudah menjalankannya. Linux saat ini bagaikan senjata kebebasan dan kekuatan teknologi yang tak mengenal batas, sebab dia akan terus berkembang cepat sebab mendapatkan perhatian serius dari masyarakat dunia.
Budi Rahadjo akhirnya berpendapat perlindungan HaKI sudah terlalu berlebihan dan lebih banyak membawa kejelekan. Menurutnya, setiap temuan seharusnya ditujukan untuk kemaslahatan umat manusia. Tetapi Budi berpendapat, anti intellectual property bukan berarti menghalalkan pembajakan.
Negara Kurang PeduliPemerintah boleh saja sudah menelurkan Keputusan Presiden tentang pengukuhan Tim Nasional Perlindungan dan Penanggulangan Pelanggaran Hak Cipta, dan membentuk Tim Teknis Hak Kekayaan Intelektual. Bersama legislatif disetujui pula aneka undang-undang perlindungan hak kekayaan intelektual. Sayang sekali semua menjadi semacam macan kertas saja.
Karena kesimpulan umum menunjukkan negara masih kurang peduli menjaga berbagai hak kekayaan intelektual milik bangsa ini. Seperti dikatakan Dirjen HKI Dephuk dan HAM, Andy Noorsaman Sommeng, beberapa karya orang Indonesia seperti tempe, motif batik, dan obat tradisional kunyit sudah dipatenkan negara lain, yang mereka patenkan bukan barangnya melainkan teknologinya. Sisi positif atas kasus lagu Rasa Sayange pun dilihatnya menjadi momentum masyarakat mulai peduli untuk melindungi hasil karya anak bangsa.
Menjawab pertanyaan wartawan Tempo Erwin Dariyanto, tentang banyaknya temuan orang Indonesia yang kemudian dipatenkan oleh negara lain, Andy malah balik bertanya. “Apa yang dipatenkan? Tidak ada itu. Angklung, rendang, batik, itu tidak ada paten. Kalau kita berbicara tentang paten, itu berbicara tentang teknologi. Misalnya batik, memang ada paten batik. Tapi patennya adalah bagaimana dia membuat mesin untuk membuat batik. Jadi yang dipatenkan itu teknologinya. Dan itu tantangan buat insinyur Indonesia.
Dirjen yang baru diangkat tahun 2007 setelah sepanjang tahun 2001-2007 menjabat Direktur Teknologi Informasi pada Ditjen HKI ini, harusnya lebih terbuka berbicara secara jujur apa saja yang sudah dilaksanakan lembaganya setelah berbagai perangkat peraturan HKI disepakati. Sosialisasi berbagai ketentuan mengenai HKI, yang menjadi tugas lembaga pimpinan Andy Noorsaman Sommeng sangat diperlukan agar tak satupun hak-hak kekayaan intelektual bangsa ini dicaplok negara lain. Sebab hak-hak kekayaan intelektual bangsa bagaimanapun cermin jati diri bangsa.
Martabat bangsa dipertaruhkan di situ. Sebab seandainya jarum jam dunia bisa diputar mundur bisa-bisa Indonesia akan berhak pula untuk mengaku sebagai pemilik pulau yang kini di atasnya berdiri negara Malaysia dengan didasarkan atas kisah Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang dahulu menguasai daerah perdagangan selat Malaka hingga Asia Tenggara. MS-HT (BI 50)

http://www.beritaindonesia.co.id/berita-utama/cara-aman-menjaga-martabat