Rabu, 09 Maret 2011

Strategi Pertumbuhan Riil Bisnis Internet Indonesia

http://www.sharingvision.biz/2007/11/20/strategi-pertumbuhan-riil-bisnis-internet-indonesia/
Oleh Dimitri Mahayana, Chief Lembaga Telematika Sharing Vision Bandung

Selama ini, regulator teknologi informasi di Indonesia, baik Ditjen Postel, Depkominfo maupun Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (BRTI), lebih sering melansir data yang tergolong sisi baik dari data dan fakta industri internet di negeri ini. Disebutkan, pengguna internet pada 2007 ini sudah mencapai kisaran 20 juta orang dengan 1,2 juta diantaranya menjadi pelanggan. Data ini menunjukkan pertumbuhan signifikan hingga ratusan persen mengingat layanan ini belum genap sepuluh tahun.
Akan tetapi, data ini bisa jadi sumir adanya. Apakah pertumbuhan pengguna didorong tingkat kepuasan pengguna yang makin baik — sehingga memicu penggunaan lainnya — ataukah pertumbuhan terjadi semata-mata karena kebutuhan makin naik?
Pertanyaan ini wajar dilontarkan apabila kita ingin menelisik keunggulan sesungguhnya layanan internet Indonesia. Alasannya, pelanggan yang tumbuh boleh jadi bersifat semu karena masyarakat sebenarnya tak punya pilihan lain di tengah peningkatan kebutuhan. Dengan kata lain, masyarakat tidak punya opsi yang beragam sehingga akses yang lamban pun tetap mereka pakai. Sebab kebutuhan layanan data guna menunjang kerja, sekolah, bahkan hiburan sudah terbentuk sempurna.
Di sisi lain, analisis ini juga perlu dilakukan di tengah terjadinya euforia hi-speed internet seiring kebijakan penurunan tarif Telkom Speedy volume base hingga Rp 200.000 dan First Media Rp 99.000 untuk akses unlimited.
Adakah penurunan tarif ini menjadi indikasi bahwa pelanggan sudah demikian banyak, bahkan hingga segmen menengah ke bawah, sehingga diperlukan terobosan kebijakan pentarifan yang sangat terjangkau?
Ataukah ini pertanda masyarakat pengguna internet terus berkembang dan akhirnya menciptakan persaingan ketat yang memaksa operator menawarkan tarif luar biasa murah — tarif Speedy pada April 2007 turun antara 29% hingga 63%.
Mari awali analisis ini dengan melihat hasil survei yang kami lakukan pada Agustus 2006 dan Agustus 2007 kepada 242 responden di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta. Survei menunjukkan tingkat ketertarikan berlangganan dalam setahun terakhir menurun. Apabila tingkat ketertarikan berlangganan pada 2006 mencapai 84%, maka prosentase jawaban responden pada tahun ini tinggal 66%. Di sisi lain, tingkat perpindahan layanan (churn) pada operator internet juga bertambah.
Churn tahun lalu hanya mencapai 10% namun pada 2007 ini mencapai jadi 14%. Dua data ini kemudian mencuatkan penyebab yang sama: Tarif masih mahal namun kualitas layanan tidak baik bahkan cenderung menurun. Tarif bagi pengguna maupun pelanggan masih jadi momok karena rata-rata anggaran internet masyarakat sendiri tergolong kecil yakni antara 5%-10%
dari penghasilan per bulannya.
Namun demikian, ekspektasi masyarakat atas layanan tersebut sangat tinggi khususnya pada kecepatan akses. Inilah yang membuat keluhan atas kualitas layanan didominasi masalah ini. Prihatinnya, kecepatan akses yang dikeluhkan ini ternyata bermuara dari promosi operator yang gencar namun akses yang diterima praktiknya kadang kurang sesuai apa yang diiklankan.
Responden baik yang berada di Jakarta, Bandung, maupun Yogya merasa kecele dengan janji-janji operator. Bahkan, apabila keluhan hal ini pada tahun lalu fokus kepada kecepatan akses, maka keluhan tahun ini jadi bertambah. Mereka merasa selain kecepatannya sering tidak sesuai janji, tarif akses yang dijanjikan juga lebih mahal dari publikasi. Plus ditambah dengan layanan yang masih sering terputus-putus dan cara mengakses yang tergolong rumit.
Pada titik ini bisa melihat bahwa pertumbuhan bisnis internet di Indonesia belum sepenuhnya didorong kekuatan internal (baca: operator) tapi lebih banyak muncul dari kebutuhan masyarakat yang meningkat.
Operator memperoleh ‘berkah’ dari meningkatnya kebutuhan. Dan, operator dengan sangat akurat memanfaatkan momentum kenaikan minat dengan melakukan promosi secara besar-besaran.
Persoalannya kemudian adalah operator jadi terjebak perang tarif sesamanya dan ‘lupa’ menjaga dan meningkatkan kapasitas jaringan guna mengantisipasi antusiasme permintaan, khususnya dari masyarakat yang sebelumnya tidak punya anggaran internet. Dus, gangguan layanan pun terjadi di sana-sini. Operator pun keteteran menangani komplain masyarakat sementara regulator seolah hanya bisa termangu menyaksikan semua adegan ini. Jadi, siapa yang tumbuh?
Guna menciptakan bisnis internet di Indonesia yang benar-benar tidak semu, penulis utamanya merekomendasikan agar regulator dan operator secepatnya merumuskan standar quality of service.
Bagi pihak yang tengah menawarkan tarif promosi, harus ditetapkan standar: Batasan tarif termurah yang diberikan, seberapa cepat akses yang harus disediakan, berapa tingkat kegagalan akses yang ditolerir, dan seterusnya. Demikian pula dengan operator yang menawarkan tarif premium. Secara bersamaan, masyarakat harus memperoleh panduan yang
jelas dan mekanisme yang ringkas dalam menggunakan layanan maupun saat melakukan komplain.
Masyarakat juga wajib diberi informasi transparan tentang sistem perhitungan tarif layanan, bahkan bila memungkinkan disediakan fitur guna mengecek pulsa miliknya kapan saja dan dimana saja. Apabila standar layanan ini sudah dirumuskan, regulator secara bersamaan harus mengatur standar promosi operator yang kian hari kian bombastis. Menariknya, promosi ini efektif menarik minat masyarakat sekalipun akhirnya banyak yang kecewa.
Dengan perumusan standar layanan dan promosi operator, layanan internet di negeri ini bakal benar-benar memuaskan masyarakat dengan kontribusi yang riil karena kualitas kehidupan masyarakat telah terangkat.
Pertumbuhan bisnis internet pun tidak lagi seperti saat ini yang kelihatannya tumbuh seperti balon karet yang terus ditiup lantas dijemur di tengah terik mentari hingga sewaktu-waktu siap pecah berantakan.(*)